Pengertian Nikah ( Perkawinan )

Saturday, January 22, 2022 Pak Dedek 0 Comments

 

Dalam Undang-undang No.01 tahun 1974 dijelaskan bahwasanya “perkawinan adalah ikatan lahir-batin antara seorang wanita dengan seorang laki-laki sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sedang pengertian perkawinan yang dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam adalah “Bahwa perkawinan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.

Imam Taqiyuddin menjelaskan  didalam kitab Kifayatul Akhyar bahwa nikah menurut bahasa adalah:

اَلنِّكَاحُ فِى الُّلغَةِ الضَمُّ وَاْلجَمْعُ يُقَالُ: نَكَحْتُ الَاشْجَارُ إِذَا اِلْتَفَ بَعْضُهَا عَلَى بَعْضِ

Perkawinan menurut arti bahasa adalah berkumpul dan menggabungkan. Dikatakan, “Aku menggabungkan pohon ini agar sebagian condong atas yang lainnya”.[1]

Sedangkan pernikahan Menurut syara’:

وَفِى الشَّرْعِ عِبَا رَةٌ عَنِ اْلقَدِ اْلمَشْهُوْ رِ اْلمُشْتَمَلِ عَلَى اْلأَرْكَا نِ وَالشَّرْ طِ

Nikah menurut Syara’ ialah lafad akad yang sudah terkenal yang mengandung beberapa rukun dan syarat.[2]

Dalam pengertian lain Sayyid Sabiq juga mendefinisikan bahwa “Pernikahan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk-Nya, baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan”.[3] Pernikahan merupakan suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak, dan melestarikan kehidupannya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan.[4]

Dari pengertian ini, perkawinan mengandung aspek akibat hukum. Melangsungkan perkawinan, ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong menolong. Karena perkawinan termasuk pelaksanaan agama, maka didalamnya terkandung adanya tujuan/maksud mengharapkan keridhaan Allah SWT.[5]

Dalam Kompilasi Hukum Islam, pengertian perkawinan dan tujuannya dinyatakan dalam pasal 2 dan 3 sebagai berikut:

Pasal 2

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau Mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.[6]

Pasal 3

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.[7]

A.    Dasar Hukum Perkawinan

Dasar hukum ditetapkannya perkawinan, sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat An-Nuur ayat 32.

وَأَنكِحُوا۟ ٱلْأَيَٰمَىٰ مِنكُمْ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا۟ فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.[8]

 

Kemudian didalam sunnah juga dijelaskan bahwa  kewajiban menikah kepada mereka yang telah mampu, sesuai dengan hadits berikut:

حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ، قَالَ: حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ، عَنْ عَلْقَمَةَ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ، فَلَقِيَهُ عُثْمَانُ بِمِنًى، فَقَالَ: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّ لِي إِلَيْكَ حَاجَةً فَخَلَيَا، فَقَالَ عُثْمَانُ: هَلْ لَكَ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ فِي أَنْ نُزَوِّجَكَ بِكْرًا، تُذَكِّرُكَ مَا كُنْتَ تَعْهَدُ؟ فَلَمَّا رَأَى عَبْدُ اللَّهِ أَنْ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ إِلَى هَذَا أَشَارَ إِلَيَّ، فَقَالَ: يَا عَلْقَمَةُ، فَانْتَهَيْتُ إِلَيْهِ وَهُوَ يَقُولُ: أَمَا لَئِنْ قُلْتَ ذَلِكَ، لَقَدْ قَالَ لَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.

Menceritakan kepada kami Umar bin Hafs, Ayahku menceritakan kepada kami, menceritakan kepada kami A’masy, ia berkata: menceritakan kepadaku Ibrahim, dari Alqamah berkata: aku bersama Abdillah, lalu dia menemui Usman di Mina dan dia berkata, “Wahai Abu Abdurrahman, sesungguhnya aku memiliki kepentingan denganmu.” Maka keduanya pun menyingkir ketempat sepi. Usman berkata, “Apakah engkau mau wahai Abdurrahman kami nikahkan dengan gadis yang dapat mengingatkanmu akan apa yang biasa padamu dahulu?” ketika Abdullah melihatnya tidak dibutuhkan hal itu, maka dia mengisyaratkan kepadaku seraya berkata, “Wahai Alqamah.” Aku menuju kepadanya dan dia berkata, “Ketahuilah, sekiranya engkau mengatakan itu maka sungguh Nabi SAW telah bersabda kepada kami, “ Wahai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu mampu al ba’ah maka hendaklah menikah, dan barangsiapa tidak mampu maka hendaklah berpuasa, sungguh puasa itu menjadi perisai (wijaa’) baginya.[9] 

Pada dasarnya Islam itu menganjurkan perkawinan, akan tetapi dalam menyikapi hukum asal melakukan perkawinan para ulama berbeda pendapat. Menurut jumhur ulama hukum asal perkawinan adalah sunnah atau mubah. Sedangkan diperbolehkan melakukan perkawinan untuk mencari kenikmatan. Sebab perbedaan pendapat para ulama adalah  dalam memahami sighar amr (bentuk perintah).[10]

Dalam surat An-Nisa ayat 3, Allah menjelaskan:

 فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ

Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.[11] 

Hukum melakukan perkawinan, tergantung pada keadaan seseorang yang melaksanakannya. Untuk menentukan hukum perkawinan harus dilihat dari dua segi. Pertama, kemampuan melaksanakan sebelum dan sesudah perkawinan, baik sebagai suami maupun istri. Kedua, kesanggupan memelihara diri, yaitu sanggup tidaknya seseorang mengendalikan dirinya untuk tidak jatuh dalam perbuatan zina.



[1] Imam  Taqiyuddin Abi Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar (Surabaya: Nurul Huda), juz II, 36.

[2] Imam Taqiyuddin Abi Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar..., 36

[3] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah penerjemah Nor Hasanuddin Dkk, Cetakan 3 (Jakarta: Pena Pundi Aksara 2008),  jilid II, 477.

[4]  Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah...., jilid II, 477.

[5] Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Cetakan ke 4 (Jakarta:Perdana Prenada Media Group 2010), 10.

[6]  Undang-undang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta: Graha Pustaka), 140.

[7] Undang-undang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam...., 140.

[8] Alqur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, (Semarang: Cv. Asy-Syifa,1998), 282.

[9] Imam Abi Abdillah Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Libanon: Darubnu As-Shasah), jilid III: 117

[10] Muhammad bin Ahmad Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Beirut: Darul kutub), juz 4, 197.

[11] Alqur’an dan Terjemahnya....,61.

 

0 Comments:

BLOG_CMT_createIframe('https://www.blogger.com/rpc_relay.html', '0');